Apakah Bupati/Walkot dapat melampaui ketentuan maximum 100% NJOP untuk perhitungan PBB?
Oleh : Jon Kadis, S.H.
Tulisan ini bersumber pada bacaan UU no.1 tahun 2022, yang di dalamnya memuat tentang PBB-P2 (Pajak Bumi & Bangunan Perkotaan dan Pedesaan). UU sebelumnya, terakhir UU no.28 tahun 2009 yang mengatur hal yang sama telah dicabut & diganti. Tetapi Peraturan Pelaksanaan dari UU sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan dengan UU no.1 tahun 2022 tetap berlaku.
Selanjutnya saya tidak menyertakan angka pasal & ayat dalam narasi berikut, untuk memudahkan pembaca. Tetapi jika ingin mencari dasar hukum pasal & ayat itu, silahkan cari sendiri, dan pasti ditemukan.
Bagian mana saja sebagai kewenangan Bupati/Walkot menurut UU no.1/2022 ini?
Pertama, kewenangan untuk menentukan besaran NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) sebagai dasar untuk menghitung PBB-2. NJOP = Nilai Jual Obyek Pajak. Untuk mendapatkan besaran angka NJOP, Bupati/Walkot mendapatkan bahannya dari catatan perolehan hak yang pernah terjadi. Bukan hanya sekali terjadi, tetapi beberapa kali, dan hal itu menyimpulkan rata-rata harga tanah & bangunan di sebuah kawasan tersebut dapat diperoleh berapa per meter persegi.
Arti dari "catatan perolehan hak yang pernah terjadi" biasanya diperoleh dari PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yaitu Notaris atau Camat serta dari pejabat Desa/Kelurahan tempat tanah & bangunan berada.Sebagai alternatif tambahan informasi, bukan keharusan UU, harga tanah & Bangunan itu dapat diperoleh dari Developer dan makelar. NJOP itu adalah harga pasar rata-rata. Dari besaran NJOP ini akan ditarik 5% untuk BPHTB jika terjadi pensertifikatan tanah atau perolehan hal karena beli tanah.
Kedua, kewenangan untuk NJKP (Nilai Jual KENA Pajak) setelah dikurangi NJOPTKP (Nilai Obyek Pajak Tidak kena Pajak). Untuk PBB, kewenangannya pemberian UU pada minimum 20% dan maximum 100%. Itu berarti Bupati / Walkot punya kewenangan untuk menggunakan dari 20% sampai 100%.
Angka berapa 100% itu? Adalah sama dengan Nilai harga pasar rata-rata, angka yang ditetapkan & diputuskan Bupati / Walkot, yaitu NJOP dikurangi NJOPTKP. Dari hasil prosentase itu, maka diperoleh angka NJKP (Nilai Jual Kena Pajak). Berapa PBBnya? adalah 0,5% dari NJKP.
Ketiga, kewenangan untuk besaran NJOPTKP. UU menetapkan batas minimum sebesar Rp.10.000.000. Itu berarti Bupati/Walkot boleh menggunakan diatas itu, bahkan logisnya bisa sampai berapa saja. Tapi dari Peraturan Pelaksanaan UU sebelumnya yang oleh UU ini masih berlaku sepanjang tidak bertentangan, NJOPTKP itu sebesar maximum Rp.60 juta salah satunya.
Contoh: NJOP putusan Bupati untuk tanah & bangunan anda seluas 500m2, yang per meternya dia hitung Rp.1,5 juta, maka NJOPnya sebesar = Rp.750 juta. Berapa NJKPnya? Rp.750 juta - 10 juta = Rp. 740 juta. Lalu Bupati tidak pakai 20%, tapi 30%, sehingga 30% x 740 juta = Rp.222 juta. Berapa PBB yang wajib anda bayar? Adalah 0,5% x 225 juta = Rp. 1.125.000.
UU ini memerintahkan agar Bupati/walkot tidak boleh melampaui 100% NJOP. Misalnya dari contoh tadi, NJOP Rp.750 juta. Lalu Bupati pakai 3000% x Rp 750 juta, lalu dikurangi NJOPTKP Rp 10 juta, sehingga NJKPnya sebesar Rp.22.490.000.000. PBB? 0,5% × Rp. 22.490.000.000 = Rp.112.450.000. UU melarang lebih dari 100% itu.
Di beberapa kabupaten /Kodya mungkin berbeda dalam hal jumlah NJOPTKP dan prosentase NJOP itu untuk mendapatkan NJKP. Terutama beda NJOPTKP. Di Kabupaten X misalnya, Bupatinya (cq.Dispenda) memberikan istilah "stimulus" kepada wajib pajak bumi & bangunan untuk di bawah 100%, yaitu 95- 97% misalnya. Dari contoh NJOP tadi, Rp.750 juta, maka untuk NJKP diperoleh dari 95% x NJOP -NJOPTKP. Itu berarti Bupati sesungguhnya mau 100% 'kan? Bahasanya untuk dibawah itu kedengaran wise, yaitu "stimulus", padahal nyaris 100%. Berapa NJKP? Adalah 95% x 750 juta - 50 juta = Rp.665.000.000. Brapa PBB? 0, 5%x 665 juta = Rp.3.250.000
Nilai Jaminan untuk Kredit & NJOP untuk Pajak
Point ini di luar UU No.1 tahun 2022. Tetapi ilmu untuk nilai obyeknya sama & teradopsi kedalaman UU. Nilai jaminan kredit atau disebut juga nilai taxasi digunakan untuk tujuan menperoleh kredit (pinjaman uang), sedangkan NJOP digunakan untuk keperluan pajak. Untuk memperoleh nilai pasar, baik untuk jaminan kredit maupun untuk kebutuhan pajak, sumber informasinya tak jauh beda.
Istilah Nilai Jaminan biasa dikenal di dunia perbankan. Saya pernah bekerja di kantor Cabang Central Asia dan Bank Artha Graha Internasional, Bidang Kredit. Pada bagian ini, ada bagian Investigasi & Analist, yaitu bagian yang bertugas mengumpulkan informasi tentang nilai jual dari benda yang rencananya mau dipakai sebagai jaminan kredit dan calon kreditur. Barang Jaminan itu bisa tanah & bangunan, mobil, emas, deposito, dan seterusnya.
Bagaimana untuk memperoleh nilai jaminan tersebut? Untuk tanah & bangunan, mobil, info harga pasar diperoleh dari minimal 3(tiga) sumber informan, antara lain PPAT/Notaris, Kantor Camat, Desa, Developer serta makelar. Untuk emas, infonya diperoleh dari toko penjual emas, berita media ekonomi & perdagangan. Dalam permohonan kredit jumlah besar, biasanya Bank meminta jasa lembaga Penilai independen (Appraiser Independen) informasinya dari lembaga Penilai Independen (Appraiser Independen) yang terdaftar & diakui Pemerintah.
Itu tadi informasi harga pasar untuk dipergunakan sebagai nilai Jaminan untuk pengajuan pinjaman. Nilai Jaminan ini pasti lebih rendah dari harga pasar. Berapa prosentasenya? Beberapa bank bisa berbeda. Biasanya untuk fixed asset (tanah & bangunan), nilai Jaminan itu diperoleh dari 20-30% dari rata2 nilai pasar. Misalnya harga pasaran saat pengajuan kredit untuk tanah & bangunan jaminan itu Rp.800 juta, maka nilai untuk Jaminan kreditnya 30% x Rp 800 juta = Rp.560 juta. Berdasarkan nilai Jaminan itu, jumlah kredit yang desetujui dengan maximum Rp.560 juta. Intinya, nilai untuk Jaminan kredit tidak sama dengan nilai pasar.
Masalahnya dimana?
Pertama, Bupati /Walkot yang menetapkan besaran NJOP sampai melebihi harga pasar, yang kenaikannya bisa mencapai 3000% dari NJOP sebelumnya sungguh mengejutkan para pawib pajak serta calon investor yang turut memajukan ekonomi kawasan.
Kedua, terhadap kewenangannya untuk menentukan prosentase NJOP untuk pengenaan PBB, Bupati bisa memakai angka 100%. Juga bisa menggunakan jumlah minimum untuk NJOPTKP, yaitu minimum Rp.10 juta. Apa yang akan terjadi? Wajib pajak bisa membayar PBB jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Ketiga, NJOP yang ditetapkan Bupati /Walkot yang lebih tinggi dari nilai perolehan (nilai transaksi jual beli & pensertifikatan tanah) akan berakibat pada besarnya BPHTB, dan hal ini akan berdampak pada tertundanya investasi sehingga perekonomian malah berjalan di tempat.
Keempat, masa pandemik covid-19 baru memasuki reda setelah lama ekonomi down nyaris to zero, dan baru mulai pemulihan ekonomi, namun tiba-tiba muncul kewajiban pajak yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Kelima , Kebijakan Bupati/Walkot dengan menggunakan NJOPTKP paling rendah (Rp.10 juta) dan penggunaan 100% NJOP untuk pengenaan PBB, dapat dipandang sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat, apalagi rakyat kita belum 100% makmur.
Komentar