DESA DAN DEMOKRASI INKLUSIF
Tanggamus-
Penulis : KURNAIN, S.IP (wakil ketua DPRD Tanggamus dan ketua partai NasDem Tanggamus)
Pemerintah Desa.
Desa saat ini semakin sangat ramai diperbincangkan publik, dan bahkan desa memasuki era baru dalam diskursus politik dan kekuasaan.
Namun demikian, perbincangan soal desa tersebut, seringkali dikonseptualisasi dalam ranah kebijakan, regulasi dan program, sehingga menegasikan hal yang substansial dari makna desa dan berdesa.
Para birokrat selalu membincangkan desa pada dua spektrum, yaitu administrasi pemerintahan dan administrasi pembangunan, yang kemudian menjadi dirigent bagi publik untuk menyebutkan bahwa desa adalah lemah, kapasitas SDM rendah, gagal, dan lain lainnya, karena ukuran yang pakai adalah ketaatan dan kesolehan dalam melaksanakan dan mematuhi Mazhab administrasi.
Tidak jarang kemudian, terdengar pandangan miring dan bahkan miris terhadap desa, tanpa ada upaya memberikan penjelasan dan menjelaskan substansi persoalan terhadap semua streotype bagi desa. Pada sisilain ketika ada satu dan dua desa yang mampu menjawab tantangan administrasi pemerintahan dan pembangunan yang diberikan pemerintah Supra desa, maka sorak Sorai apresiasi dan nyanyian pujian ramai dilantukan. Inilah kondisi anomali dalam konteks membincangkan Desa dalam perspektif UU Desa dan juga pembangunan demokrasi Desa.
UU DESA, dengan dua asa penting yaitu rekognisi dan subsidiaritas, ternyata praktik dikanalisasi dengan cara cara Teknokrasi dan administrasi. Sehingga melumpuhkan imajinasi masyarakat desa tentang kedualatan, kemandirian, dan kearifan dalam membangun desa.
Masyarakat desa dipasung dalam sistem administrasi yang ketat untuk merumuskan hak hak nya sebagai warga negara dan juga warga desa. Pengakuan negara terhadap desa (asas rekognisi), dikerdilkan dengan alokasi dana desa. Kewenangan yang dimiliki desa, dihimpit dengan penetapan kebijakan perioritas penggunaan dana desa.
Pada kondisi tersebut, menurut penulis, Desa saat ini, mengalami penurunan kualitas demokrasi, karena desa lagi lagi hanya menjadi subordinat atas kekuasa dan relasi desa dengan Supra desa, yang secara substantif menjauhkan desa dengan tradisi sosial dan tradisi ekologis nya.
Gagasan Demokrasi inklusif Berdesa
Untuk menjembatani keruwetan praktek berdesa ala Pemerintah, maka perlu elemen civil society dan elemen gerakan sosial berdesa, untuk membicarakan ulang diskursus dan praktik berdesa ala Pemerintah Supra desa saat ini, yaitu mengembalikan desa dalam roh substansi UU desa serta memperkuat sistem Demokrasi inklusif.
Gagasan demokrasi inklusif, merupakan gagasan yang bertujuan memperkuat sistem demokrasi langsung, dan memasukan persoalan sosial dan ekonomi (demokrasi ekonomi) dalam gerakan Berdesa. dimana dalam gagasan demokrasi inklusif, secara substantif memperkuat hak hak warganegara,tidak hanya dalam politik, akan tetapi mencakup ranah sosial, ekonomi dan ekologis.
Demokrasi inklusif Desa (desa inklusif), mendorong terbukanya arena partisipasi dan menempatkan warga desa pada posisi penting dan strategis dalam tatakelola sosial, ekonomi, lingkungan, politik dan pembangunan.
Meminjam argumentasi Fotopolus (filsuf Yunani) dalam karyanya Toward an inclusive democracy, dan democracy and nature, Fotopolus mencoba menguraikan tentang sistem demokrasi yang cenderung mengabaikan persoalan sosial,ekonomi, dan lingkungan hidup. Ia mengkritik sistem demokrasi liberal yang justru menempatkan penguasa dan kekuasaan yang merusak tatanan sosial dan ekologi.
Mengacu pada pandangan fotopolus di atas, serta kondisi eksisting desa saat ini, maka penting bagi pemerintah Supra Desa, agar menempatkan desa sebagai arena artikulasi sosial, ekonomi dan lingkungan yang harus diproteksi oleh negara, agar hak hak warga desa , aspirasi warga desa, tidak diintimidasi oleh program yang bersifat top down dan instruktif.
Demokrasi inklusif Desa, menjadi solusi alternatif mempertautkan pikiran rakyat dan penguasa yang beradab, karena desa bukan lah lokasi proyek yang justru merusak tatanan sosial dan lingkungan hidup.(red).