Korban Cuci Otak  Khilafatul Muslimin Yang Kembali Ke Pangkuan NKRI

Harianjaraknews.id

Upaya tim Indensos Satgaswil NTT Desus 88 untuk mencegah berkembangnya paham intoleran, radikalisme dan terorisme sangatlah terasa.

Tindakan ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk kegiatan sosialisasi terkait bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme hingga ke desa-desa, juga dilakukan  melalui proses deradikalisasi  dan pemberdayaan terhadap orang-orang yang pernah terpapar dan bergabung dalam organisasi berpaham radikal dan Terorisme.

Berkat komitmen dan kegigihan ini, Seorang anak muda asal Manggarai Barat, Ifan, eks Anggota Khilafatul Muslimin telah berhasil diselamatkan dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kini dia telah menjadi warga negara yang baik dan kembali menemukan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Meskipun Organisasi Khilafatul Muslimin [Kilmus]  belum secara resmi ditetapkan sebagai organisasi terlarang -bahkan belum pernah mendaftarkan diri di Kementerian Hukum dan HAM. Namun sepak terjangnya sudah terendus sejak lama, 'sebagai organisasi radikal yang patut diwaspadai'.  Pasalnya  mereka mengusung paham kekhilafahan yang ingin menggantikan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Terdapat beberapa kasus yang bisa dikaitkan dengan pemimpin organisasi ini, Abdul Qodir Hasan Baradja, misanya saja,  pemboman Candi borobudur Jawa Tengah[1986],Talang Sari  Lampung [1985] dan  beberapa kasus lainya.

Terbaru, terkonfirmasi bahwa Abdul Qodir Hasan Baradja, tengah menjalani hukuman 10 Tahun penjara atas atas tindakan pidana menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila, seperti yang dikutip detik.com, [rabu 25/01/2023].

Menjadi anggota Kilmus 

Bermula pada tahun 2016, saat tamat Sekolah Dasar [SD] oleh orang tuanya yang juga merupakan anggota Kilmus, menyekolahkan Ifan ke salah satu  Pondok Pesantren [Ponpes] milik organisasi Khilafatul Muslimin yang terletak  di Taliwang sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat [NTB].

Menurut Ismail, ayah Ifan, dia mengirim anaknya untuk sekolah di Pondok Pesantren tersebut,  berdasarkan perintah dari ustaz Moktar selaku pimpinan Khilafatul Muslimin Flores yang  mewajibkan anak-anak dari setiap anggota Khilafatul Muslimin untuk disekolahkan pada pondok pesantren milik organisasi tersebut.

Selama mengenyam pendidikan, kata Ifan, mereka diajari tentang membaca al quran, bersedekah dan berbagai hal baik lainnya. Sekilas semuanya tampak normal-normal saja, selayaknya Ponpes pada umumnya. Akan tetapi, terdapat hal yang berbeda, di mana mereka selalu diajarkan untuk tidak tunduk dan ikut dengan aturan Pemerintah, termasuk melarang mengikuti upacara bendera dan  menghormati bendera Merah Putih.

Selain itu, jenjang masa pendidikan yang mereka jalani sangat berbeda dengan Ponpes maupun sekolah pada umumnya. Jika pada Sekolah Menengah Pertama [SMP] dan Sekolah Menengah Atas [SMA] pada umumnya, masa pendidikan pada setiap jenjang ditempuh minimal dalam waktu  3 tahun, di Ponpes ini, kedua jenjang pendidikan tersebut, hanya ditempuh dalam  dalam waktu 4 tahun saja,  2 tahun untuk SMP dan 2  tahun untuk SMA.

"Saya 2 tahun di  SMP,  setelah itu lanjut SMA selama dua tahun juga, lalu tamat,"kata Ifan.

Celakanya, setelah dinyatakan tamat, para santri ini tidak mendapatkan Ijazah yang sah, diakui pemerintah, hanya berupa surat keterangan dari Ponpes saja

"Kami hanya terima ijazah dari pondok saja, tetapi ijazah itu  beda dengan ijazah dari sekolah yang  lain", ungkap Ifan.

Terkait persoalan ijazah, sebenarnya telah diketahui orang tua Ifan sejak lama.  Kepada awak media ini, Ismail, Ayah Ifan menyampaikan, bahwa saat anaknya dinyatakan tamat SMP, dia menginginkan Ifan melanjutkan pendidikan ke tempat lain. Akan tetapi ijazah dari Ponpes tempat Ifan sekolah tidak diakui.

Ismail juga sempat melakukan komplain secara langsung ke pihak Ponpes, tetapi jawaban mereka pada saat itu;

"Untuk apalagi itu ijazah! Nanti  kalau tamat dari sini Ifan tidak kesulitan cari kerja, bisa langsung kerja di sini [Ponpes]", kata Ismail menirukan jawaban para pengasuh Ponpes pada saat itu.

Entah karena masih menjadi anggota Kilmus, Ismail membiarkan anaknya terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA di lembaga itu.

Dua tahun berselang, meskipun oleh para pengasuh  Ponpes  dianjurkan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang Perguruan Tinggi di kampus milik Kilmus. Namun ifan telah memutuskan berhenti belajar di Ponpes tersebut, kemudian berangkat ke kabupaten Bima, NTB untuk mengikuti program paket B, agar bisa  mendapatkan ijazah formal. Selepas itu dia pun kembali  ke Labuan Bajo, kampung halamannya.

Kembali ke NKRI

Kembalinya Ifan ke pangkuan NKRI, tidak terlepas dari peran berbagai pihak, baik keluarga, komunitas sosial tempatnya bekerja dan terutama peran tim Indensos Satgaswil NTT Densus 88.

Pada tahun 2022 yang lalu, tim Indensos Satgaswil NTT Densus 88, secara intens melakukan pendekatan terhadap beberapa anggota kilmus, salah satunya pak Ismail, ayah dari Ifan.

Intensitas dari perjumpaan itu, ternyata telah berhasil menyadarkan beliau, hingga ia memutuskan keluar dari organisasi Khilafatul Muslimin, organisasi yang telah diikutinya sejak tahun 2000-an silam.

Sikap tegas ini kemudian menjadi makin jelas, saat Ismail dan keluarga, atas kerelaan sendiri melakukan pelepasan baiat terhadap Kilmus dan dilanjutkan dengan  pengucapan ikrar sumpah setia terhadap NKRI, yang dilakukan di aula Kantor Bupati Manggarai Barat pada 15 Agustus 2023 yang lalu.

Dalam setiap perjumpaan, kepada tim Indensos Satgaswil NTT Densus 88, Ismail sering berbagai cerita "curhat" terkait kondisi yang tegah dialami  Ifan, putranya. Di mana sejak kembali dari rantauan anaknya itu cendrung tertutup dan kesulitan  mendapatkan pekerjaan karena tak memiliki ijazah SMA.

Tim Indensos Satgaswil NTT Densus 88, kemudian bersilaturahmi dengan ibu Marta Muslin Tulis, menceritakan  persoalan tersebut, berharap akan  menemukan solusi. Ibu Marta sendiri merupakan seorang aktivis lingkungan dan sosial di Labuan Bajo. Pendiri lembaga Indonesia Waste Platform [IWP] dan yayasan Peduli Indonesia, organisasi Non Profit berbasis di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT yang konsen pada isu sampah dan peningkatan kapasitas, konservasi dan market linkage.  Mendengar hal itu, Ibu Marta menyatakan kesediaannya untuk membantu Ifan.

"Saya langsung bilang pada saat itu,  masukan saja dia [Ifan] ke program kita", Kata Marta.

Menurut ibu Marta sejak lama dia melalui lembaganya mengurus anak-anak putus sekolah, membantu mereka meningkatkan kapasitas untuk menjadi Dive master sehingga bisa  masuk dalam  dunia pariwisata. Bahkan, menurutnya banyak di antara anak-anak tersebut, kini telah memiliki kehidupan yang lebih baik.

"Pada saat itu saya berpikir mengapa tidak ajak ifan juga, mungkin dia  belajar ke sekolah- sekolah yang radikal itu karena tidak memiliki kapasitas untuk berkompetisi dalam dunia kerja dan usaha. Atau mungkin juga karena dia melihat dunia hanya dari satu prespektif saja, sehingga perlu mengajak dia melihat dunia dari prespektif lain," ucap Marta.

Dalam rangka membantu Ifan, program dari kedua lembaganya dikolaborasikan. Dalam rangka meningkatkan kapasitas, agar  bisa  berpartisipasi dalam dunia pariwisata, Ifan  diikutsertakan dalam program yayasan Peduli Indonesia. Sedangkan untuk mendapatkan penghasilan bulanan, dia dilibatkan dalam kegiatan IWP. Sementara itu untuk mendapatkan ijazah  SMA, Ifan didorong mengikuti program penyetaraan Paket C yang disediakan pemerintah.

Selain berupaya meningkatkan kapasitas dan  memberikan lapangan pekerjaan, Ifan juga diperkenalkan  tentang management keuangan.

"Setengah dari gajinya kami tabungkan ke koperasi, saya mengenalkan ke Ifan, bahwa harus ada persiapan untuk masa-masa sulit," jelas Marta.

Setelah tiga bulan berdinamika dalam program IWP dan Yayasan Peduli Indonesia, menurut Marta, terjadi banyak perubahan yang positif pada Ifan. Hal itu diakui juga oleh pak Ismail.

"Ifan tidak lagi seperti dahulu, dia sudah menjadi sangat berbeda sekarang! Pada saat pertama kali masuk, anaknya kaku dan  sangat tertutup, diajak makan dan minum di sini [tempat kerja IWP] saja, dia tidak mau. Tetapi setelah beberapa bulan, semuanya menjadi cair, dia sudah membuka diri, bahkan, dia minta ikut ke Ruteng bersama kami  saat natal nanti. Dia ingin  merasakan suasana Natal, di mana seumur hidupnya tidak pernah disaksikannya,  tentu ini sangat luar biasa" ungkap Marta.

Komitmen  Pemda Mabar dibutuhkan

Posisi Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata dengan predikat super premium tentu sangat mungkin  menjadi sasaran dari berbagai aksi Terorisme.

Bahkan dalam konteks bisnis pariwisata, isu terorisme kerap kali digunakan kompetitor untuk mematikan pertumbuhan pariwisata pada satu daerah.

Kasus di lombok misalnya, bagaimana bisnis pariwisata seketika lesu, setelah terjadi kasus pembakaran terhadap 4 gereja di sana. Atau kasus bom bali, di mana pasca terjadinya Peristiwa Bom Bali 1 dan 2, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan sektor pariwisata.

Oleh karena itu, sangat dibutuhkan komitmen dari Pemerintah Daerah [Pemda] Manggarai Barat secara serius terlibat aktif dalam upaya mencegah berkembangnya paham Intoleran, radikalisme dan terorisme di daerah ini.

Meskipun banyak kalangan menilai Pemda Mabar belum mampu menunjukkan komitmen tersebut secara serius. Hal ini tercermin dalam berbagai hal, misalnya saja pada minimnya support anggaran pada upaya pencegahan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme pada kantung-kantung yang sangat riskan. Atau dalam contoh kasus Ifan,  Pemda Mabar tidak hadir dan  terlibat langsung menangani persoalan yang dialaminya, yang seharusnya sudah menjadi tugasnya.

Terlepas dari berbagai penilaian itu, menurut ibu Marta Tulis, Bupati Edi Endi sesungguhnya telah memikirkan tentang masalah tersebut secara komperhensif.

"Pada saat saya berdiskusi dengan pak Bupati terkait mitigasi Destinasi Development, terkait isu terorisme, terutama upaya  menangkal terorisme pada akarnya, telah menjadi konsen beliau kedepannya", Papar Marta.

Dalam obrolan itu, lanjut Marta, pak Bupati kedepannya akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur berupa jalan,  Air minum dan lainya pada kantung-kantung yang riskan menjadi tempat bersemainya Ideologi radikal.

Terkait penangangan Ifan, beberapa waktu yang lalu juga, kata Marta, bupati sempat menemui Ifan, dia bertanya tentang banyak hal, terutama terkait  program Paket C yang sedang diikutinya; sejauh mana prosesnya? apakah mendapatkan hambatan?  Beliau juga  menanyakan terkait kebutuhan masyarakat di Lobohusu, kampung Ifan, agar bisa disuport pemda.

"Maksud Pak Bupati menanyakan itu [kebutuhan masyarakat di Lobohusu]  kepada Ifan, agar masyarakat di sana tidak merasa terpinggirkan dalam proses pembangunan; Mungkin juga ada beberapa hal yang terlupakan selama ini, karena mis, dia [bupati]  tidak tahu bahwa masyarakat sebenarnya butuh, seperti air misalnya, meskipun menurut Pak Bupati air sudah disambungkan ke tiap-tiap rumah di Lobohusu, tetapi mungkin saja ada yang terlewatkan", Pungkas Marta. (***)

Iron NTT

Penulis:

Baca Juga