“Orang-orang gila” tahun 2022, catatan kecil akhir tahun
Oleh: John Kadis
DEKLARASI PEMIMPIN
Bagi politisi calon pemimpin, jauhnya tahun suksesi 2024 itu dihitung hari, sedangkan rakyat biasa yang sibuk bergelut mencari kesejahteraan hidupnya, tahun 2024 itu masih lama, bahkan ia tidak menghitung jaraknya. Tapi sudahlah! Yang berikut ini soal content dari sebuah deklarasi.
Pertama ada 1(satu) Partai Politik (Parpol) mendeklarasikan bakal calon (balon) Presiden untuk pemilu 2024. Si balon bersedia. Kumpul di satu tempat di Ibukota, ucapkan deklarasi beserta pidato. Yang membiayai makan minum plus hiburan tentu Parpol. Plus pidato Ketua Partai berapi-api, juga pidato sang balon. Tepuk tangan! Untuk hajatan itu, kalau dibuatkan kalimat bahasa, menjadi, "Satu partai mencalonkan seorang A untuk menjadi dipilih menjadi Presiden tahun 2024".
Mari kita urai pertanyaan dan jawabannya: Siapa yang mencalonkan A untuk jadi Presiden? Satu Parpol. Siapa yg dicalonkan? A! Apakah 1 (Satu) Parpol itu sudah cukup untuk mengusung A? Belum! Kontennya normal, sehat, karena A tidak tampil sendirian. Ia dideklarasikan oleh 1 partai, dan A mau.
Kedua, selain Parpol ada diri sendiri/ seseorang bersuara akan maju sebagai calon/balon Presiden 2024. Ambisi ego diri seseorang terlihat duluan, meski basa-basinya "kalau diusung partai saat munas nanti". Untung saja diri seseorang yang greget mau menjadi Presiden itu tidak mendeklarasikan dirinya Sendiri. Karena belum terjadi, maka tidak bisa dinilai normal atau "gila". Yang pertama dan kedua diatas tadi adalah untuk balon Presiden.
Ketiga, untuk balon Gubernur dan Bupati /Walkot? Sejauh ini saya belum dengar dan baca ramainya tentang itu. Tapi saya tahu cuma tahu 1 (satu). Ada di Satu Kabupaten di NTT, diri seseorang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai balon Bupati supaya menjadi calon bupati tahun 2024, dan tentu berharap dipilih rakyat untuk menjadi Bupati. Perbuatan itu kita jadikan 1(satu) kalimat bahasa: "Diri seseorang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai balon Bupati di satu tempat, yang dihadiri oleh orang-orang yang diundangnya".
Pada tempat deklarasi itu diri Seseorang itu berpidato. Pidato utama. Yang lain hanya pelengkap untuk yah, sambutan sekedarnya. Para undangan mendengar serius sambil minum kopi & makan gratis, plus hiburan nyanyi sehingga suasana meriah.
Pada satu-dua hari menjelang Natal 2022 dan menyambut tahun baru 2023, Diri seorang itu membuat kartu ucapan, lalu dimuat di akun medsos, lengkap dengan Foto dan nama, di bawah namanya tertulis "Bakal calon Bupati tahun 2024". Keren 'kan?
Mari kita urai juga dalam bentuk pertanyaan dan jawaban: Siapa yang melakukan deklarasi sebagai balon Bupati? Diri Seseorang! Oh, bukan partai ya, bukan sekelompok orang ya! Panggungnya sendiri to! Dia Sendiri! Oo.... tampil solo! Apakah orang yang diundang hadir itu mengusung diri Seorang itu supaya ia menjadi bakal calon Bupati? Bukan, atau tidak jelas! Setelah Balon berpidato, ia membuka kesempatan diskusi. Nah, para undangan malah mendebatnya, kayak para dosen menguji skripsi seorang mahasiswa. Tiap undangan dengan argumentasinya sendiri-sendiri, terkesan juga baku rebut mikrofon untuk tampil bicara. Debat, padahal makan minum dan sajian lagu hiburan nona cantik dari diri Seseorang itu dinikmati gratis.
Pertanyaan berikut, "Apakah itu normal? Kata "deklarasi" dalam kaitan pemilihan bupati itu sendiri normal. Tapi coba kita masuk lebih dalam, bahwa "Diri sendiri mendeklarasikan diri sendiri. Sendirian! Panggung sendiri, pidato sendiri. Bukan orang lain yang mendeklarasikannya. Tidak ada segolongan orang atau parpol yang mendeklarasikannya. Tampil solo. Pihak yang diundang? Belum mengusung yang bersangkutan. Undangan datang ke tempat deklarasi ya syukur, tidak datang ya syukur juga. Sendiri, sendirian! Ego percaya diri tinggi sendirian. Nah, apakah itu normal? Ini tidak normal, tidak sehat, tergolong 'orang gila' pada ego dirinya sendiri. Para undangan juga tak menyadari tergiring ke dalam hajatan 'gila ego diri'."
Tetapi bangsa ini tetap membutuhkan Pemimpin. Semoga tahun 2024 nanti kita memiliki pemimpin sehat dan tidak gila.
NAFSU EGO STATUS
Ini di NTT, entah di tempat lain. Pada bulan Desember akir tahun 2022 ada perayaan natal, sebuah perayaan kelahiran, khususnya peringatan kelahiran Yesus Kristus. Fisolofi natal ini adalah perayaan dalam konteks keluarga, ayah, ibu, anak dan sanak saudara dan sesama. Statusnya adalah itu, bukan tentang yang lain.
Namun ada nafsu ego diri di luar status keluarga itu. Ada yang mengucapkan "Selamat Natal" dengan status "SEBAGAI" di bawah namanya pada baliho yang dipancang di jalan raya publik, di perempatan jalan dan kartu nama di akun medsos pribadi maupun group. Misalnya, sebagai anggota DPR (baik pusat) maupun Daerah, atau status jabatan dari partai tertentu, atau jabatan apa sajalah di luar konteks dasar natal tadi. Herannya lagi, ada beberapa belum berstatus calon DPR/DPRD menurut prosedur hukum KPU, apalagi bukan DPR, tapi nafsu duluan klaim diri sebagai calon sudah dimedsoskan.
Pemandangan ini memberi kesan bahwa perayaan natal konteks status keluarga ditunggangi oleh status nafsu ego diri. Silent kampanye? itu lebih jelas lagi "nafsu ego gilanya". Apakah orang-orang "gila nafsu politik" ini nanti pasti meraih status sesuai nafsunya? Dari pengalaman hal yang sama pada tahun suksesi sebelumnya, pada umumnya sebagian besar tipe ini tidak mencapai status yang dinafsuinya itu. Orang tipe ini, maaf, termasuk "orang gila", tidak fokus menghormati upacara keagamaan, malah menunggangi natal. Orang gila, lebih tepatnya 'sakit jiwa'.
KEMAMPUAN BAHASA TULIS PEJABAT PUBLIK
Semoga surat yang saya baca di satu group WA ini sesuai aslinya. Seseorang anggota group menguploadkannya. Jika surat itu editan, abaikan saja catatan ini. Tapi lebih cenderung saya lihat bahwa surat itu adalah kopian dari aslinya. Baca cermat surat itu. Adakah kejanggalan atau kesalahan dalam menulis bahasa Indonesia yang benar?
Saya menemukan hal sebagai berikut: pertama, surat itu tanpa tanggal, hari, bulan, tahun. Kedua, hanya menyebut tempo/pkl berapa/jam berapa. Ketiga, pemakaian kata "di" yang salah. Keempat, pemakaian kata kerja yang salah. Kelima, penulisan bahasa Inggris yang salah. Keenam, penulisan kata "Sekretaris" yang salah.
Kita urai point ketiga, keempat dan kelima. Kata "di" dalam ilmu bahasa memiliki 2(dua) arti jika dikontekskan dalam satu kalimat. Sebagai preposisi, kata itu sebagai "penunjuk" tempat. Contoh: Ada pesta nikah di Dalong. Jika kata "di" ditempatkan di depan dan menyatu dengan kata kerja, maka hal itu menunjukkan kalimat pasif. Contoh: Anda dicubit Anton. Anda diundang oleh Anton untuk menghadiri pesta nikah anaknya.
Mari kita lihat kalimat di surat pejabat publik ini : Bapak/Ibu di Undang untuk menghadiri acara. Penulisan "di Undang", punya arti: Bpk/ibu berada di suatu tempat bernama Undang untuk menghadiri acara. Mungkin yang dimaksud penulis adalah : Bpk/Ibu diundang (are invited for). Jika begitu maksudnya, maka penulisan " di Undang" tersebut "salah".
Ditemukan juga pada surat tersebut, penulisan bahasa Inggris "Open Hause". Itu salah, bukan "hause" tapi "house", sehingga yang benar adalah "Open house". Istilah itu berarti " rumah terbuka", silahkan datang ke rumah, karena pintu terbuka, tuan rumah siap untuk menerima kedatangan anda. Satu kata lagi, point keenam, kata "Sekertaris". Penulisan itu salah, seharusnya "Sekretaris".
Kembali ke point pertama, tanpa tanggal, hari, bulan dan tahun. Saya hanya berkomentar, "itu surat dari negri di luar planet bumi ini, negri tanpa ruang dan waktu".
Kalau seumpama surat selain itu terjadi demikian pada administrasi pemerintahan di dalam sana, yang berhubungan dengan sebuah keputusan penting, maka resikonya bisa fatal. Misalnya "Tanah Pemda", ditulis "Tanah Pak Endah". Kemudian Pa Endah membuat Sertifikat Hak Milik atas tanah itu, lalu ia jual seharga Rp 1 milyar, maka buntutnya oknum di Pemda tadi bisa masuk bui karena kasus korupsi.
Dalam filsafat bahasa, yang mengandung pesan dasar bahasa, terutama ilmu linguistik tentang pemakaian kata dan penulisannya, kata dalam kalimat adalah perwujudan dari apa yang dipikirkan. Pikiran yang bermakna karena ada kandungan arti di baliknya. Maaf, tampak jelas betapa kacaunya pikiran pejabat publik penulis surat ini, serta betapa kurangnya penguasaan bahasa yang benar. Maaf kata ini, hal itu menunjukkan kebodohan dan kegilaan pejabat publik kita. Semoga tahun 2023 dan seterusnya "kembali ke akal sehat", sehingga publik merasa bangga bersama anda pejabat publik.
Yah, Itu tadi catatan kecil saya pada akir tahun 2022, catatan tentang "orang-orang gila". Apakah anda mempunyai catatan besar? Silahkan. Ingat, bahwa catatan ini karena "cinta dan kepedulian" saya terhadap pejabat publik dan sesama warga satu bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari Pencatat Gila, Wassalam selamat akhir tahun 2022 menuju tahun 2023.
*********************************************
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Komentar