Pengadilan Negri Labuan Bajo Dalam Pusaran Mafia Tanah
Labuan bajo, jarak news
Kiprah para mafia tanah di negeri ini sungguh sangat meresahkan. Meskipun Presiden Joko Widodo secara tegas menyatakan akan memberantas praktek ini, akan tetapi hal tersebut bukanlah upaya mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, seorang janda berusia 80 tahun, bernama Patimasang, tergusur dari rumah dan tanah yang telah ditempatinya selama puluhan tahun silam.
Dengan sekuat tenaga Patimasang berteriak, meronta, sambil sesekali mengumpat beberapa nama yang dicurigainya sebagai dalang dibalik eksekusi lahan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Kamis 19/01/2023. Namun tubuh rentanya tentu tak berdaya menahan laju excavator yang terus merobohkan bangunannya.
Meskipun tindakan eksekusi tanah yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Labuan bajo tersebut merupakan tindakan legal sesuai putusan Perkara no 23/pdt.g/2015, berdasarkan permohonan Budiman Utomo selaku penggugat, tetapi bagi Patimasang dan anak-anaknya merasa telah menjadi korban permainan dari para Mafia tanah yang dengan kekuatannya telah mengendalikan Lembaga Peradilan.
Hal inipun diakui oleh pengacara keluarga Patimasang, Paskalis Baut,SH, yang menyebut Ketua Pengadilan Negeri Labuan Bajo, A.A. Sagung Yuni Wulantrisna, diduga telah bermain mata dengan para "mafia tanah" dalam mengeksekusi putusan perkara yang penuh kejanggalan dan merupakan peristiwa langka, baru pertama kali terjadi di Manggarai raya.
Kejanggalan Perkara
Perkara ini bermula ketika seorang yang bernama Budiman Utomo, warga Simolawan Baru, Surabaya, mengklaim bahwa lahan yang ditempati oleh Patimasang saat ini merupakan lahan miliknya yang dibeli pada tahun 1967 dari seseorang yang bernama Husen.
Budiman pun melakukan gugatan perdata atas klaim kepemilikan tanah tersebut. Akan tetapi, dalam gugatan yang diajukannya, nama pihak tergugat bukanlah Patimasang, melainkan seseorang bernama Patiara.
Dalam sidang eksepsi, pihak Patimasang telah membuktikan bahwa di atas lahan tersebut, tidak ada yang bernama Patiara, yang ada hanya Patimasang. Hal ini dibuktikan dengan dokumen kependudukan serta keterangan para saksi. Entah kenapa, pihak Majelis Hakim mengabaikan fakta tersebut dan menyimpulkan bahwa Patimasang adalah orang sama dengan Patiara selaku tergugat.
Kesimpulan yang diberikan majelis hakim ini, menurut Paskalis Baut, SH., "hanya didasari pemberian cap jempol Patimasang pada surat panggilan sidang atas nama Patiara, yang dibuat tanpa adanya berita acara. Padahal Patimasang sendiri tidak bisa melihat huruf dan buta warna".Ujarnya.
Kejanggalan lain pun terjadi. Salah satu bukti yang diajukan Penggugat adalah surat pernyataan dari seorang yang turut menjadi tergugat yakni Umar Ilias Husein.
Dalam surat pernyataan tersebut Umar Ilias Husein, mengatakan bahwa dirinya merupakan anak/ahliwaris dari Husen, mengakui bahwa berdasarkan cerita orang tua mereka semasa hidup, memiliki tanah seluas 5000m2 di Pede, dimana pada tahun 1969 tanah tersebut telah dijual kepada Budiman Utomo.
Berdasarkan keterangan para saksi, baik saksi dari pihak Penggugat maupun dari pihak tergugat, diketahui bahwa ayah dari Umar Ilias Husen ternyata bukanlah Husen seperti yang tertulis dalam surat pernyataan tersebut. Ajaibnya, majelis hakim tetap menyatakan bahwa ayah dari Umar Ilias Husen adalah Husen, orang yang telah menjual tanah kepada Budiman Utomo.
Komentar