Tanah Warisan Terancam Mikael Mensen & Suwandi Ibrahim “Mafia Tanah jangan pernah bermimpi menguasai tanah ini!”

Jarak News, Labuan Bajo
Tampaknya masalah tanah di kawasan Keranga Labuan Bajo, Kab.Manggarai Barat, NTT, tak ada habisnya. Layaknya api dalam sekam. Pada saat tertentu tampak nyaman, biasa-biasa saja, tapi pada waktu yang lain muncul asap, dan saat itulah baru diketahui ada api dalam sekam.
Contoh yang tepat soal fenomena ini adalah peristiwa raibnya tanah Pemda 30 ha di Bukit Torolema / Keranga. Pada saat biasa-biasa, tidak ada tanda-tanda fisik penguasaan tanah oleh pemilik sesungguhnya, seperti adanya kebun, tanaman jangka panjang, pondok dan bukti lapangan lainnya. Yang ada hanya hamparan savana dan pohon lontar. Orang pun beramai-ramai menguasai lahan tersebut, kemudian baru sadar, setelah berpolemik, kalau tanah tersebut adalah milik Pemda.
Tak jauh beda dengan sebuah lokasi yang berada persis berdampingan dengan Bukit Keranga, yaitu Lengkong Keranga. Di atas lahan seluas 11 hektar itu tampak pohon kelapa, jati, nangka dan pondok tempat tinggal sementara yang bisa dibilang rumah kedua, sebagaimana layaknya ladang para petani. Tapi apa yang terjadi?
Saat ditinggal sementara oleh pemiliknya, yang kembali tinggal di rumah utama di kampung karena usia tua & sakit-sakitan, para pencuri tanah pun masuk. Hal ini diungkapkan Suwandi Ibrahim yang didampingi sepupunya Mikael Mensen, selaku pemilik lahan.
Saat ditemui awak media ini di keranga, pada 18/ 03/2023, Suwandi Ibrahim mengatakan, "ketika orang tua kami pulang ke rumah utama di kampung Wae Nahi Labuan Bajo, bukannya babi hutan dan hewan kera mencuri buah kelapa buah nangka atau jagung di sini, tetapi manusialah yang mencuri bidang tanah 11 ha, dengan cara datang mengukur, buat Surat Ukur, buat dokumen Peta Bidang, lalu menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama Pencuri itu" Ujarnya.
"Pencuri ini datang dari jauh, dari Ruteng yang jaraknya 150 km dari Labuan Bajo, yang tak tahu menahu kepemilikan adat & ulayat di Labuan Bajo", tandas Mikael Mensen.
"Pencuri itu adalah mafia tanah. Mereka itu adalah Nikolaus Naput beserta istri, anak, mantu dan entah ponakannya. Hal itu kami tahu belakangan, yaitu awalnya tahun 2015, dan lebih jelasnya lagi tahun 2019. Saat sidang untuk pembuatan sertifikat hak milik ke atas nama kami di aula Kantor BPN Labuan Bajo, eh ternyata sebagiannya sudah bersertifikat hak milik ke atas nama Nikolaus Naput & keluarganya itu. Itu disampaikan saat sidang itu oleh Kepala Kantor BPN, Bpk.Abel Asa Mau, yang diampingi stafnya, Bpk.Herman dan Ibu Titin", jelas Mikael Mensen.
"Hal ini mengejutkan kami, amat marah saat itu, kami berdiri dan dengan nada emosi tinggi kami berdiri sambil tunjuk-tunjuk kepada Kepala Kantor BPN & stafnya itu, bahwa perbuatan ini adalah kejahatan pencurian !", terang keduanya.
"Saya dilahirkan mama di sini dengan berdarah-darah, selaput ari-ari bayi saya dikuburkan menyatu dengan tanah ini. Saat saya berada dalam rahim mama saya di sini, saya hidup karena tanaman di tanah ini, maka saya mau mempertahankan tanah ini sampai titik darah penghabisan", ucap Suwandi Ibrahim geram.
"Pernah pada sekitar tahun 2014, kami mendengar informasi bahwa akan datang team pengukur tanah dari BPN Labuan Bajo untuk mengukur tanah ini. Mendengar itu saya dan Andi (panggilan Suwandi Ibrahim) tunggu di lokasi ini. Saat mereka tiba, kami melihat ada dari Kecamatan dan Kelurahan. Kami usir mereka pergi. Saat itu, apapun yang terjadi, kami sudah siap mati di sini. Melihat kemarahan kami, lalu mereka pergi ", ucap Mikael Mensen.
Komentar