Opini
Literasi Di Tahun Politik
Harianjaraknews.Id
Salam literasi! Ayo membaca dan menulis.
Oleh:Alfred Tuname
Berpikir itu hak setiap orang. Mengekspresikan pikiran itu pilihan. Ada yang mengungkapkannya secara lisan; ada yang melalui tulisan. Ada juga yang memilih diam. Diam juga bagian dari ekspresi pikiran.
Tentang diam, Jordan Peterson, psikiatris dan penulis Kanada, pernah berceletuk. Katanya, “bila ada yang ingin kau katakan, diam adalah sebuah kebohongan”. Diam itu bukan emas, jika berkata-kata lebih memberi arti dalam kehidupan bersama.
Di pengadilan, seorang Saksi Mahkota tak boleh diam atas perkara yang ia ketahui. Diam berarti berbohong. Alat bukti kian menghilang; fakta pengadilan kian kabur.
Di ruang publik, kebebasan berekspresi perlu dibela. Melarang kebebasan berekspresi itu sebuah tindakan dangkal, kalau bukan biadab. Ya, demokrasi mensyaratkan kebebasan berekspresi. Normal kalau ekspresi itu tidak menggeser prinsip-prinsip demokrasi; kena delik kalau ekspresi itu menguliti martabat orang lain.
Nah, membayangkan saja kalau seseorang menyuruh orang lain berhenti menulis. Sama artinya seseorang diminta untuk membatasi pikirannya. Padahal, masyarakat sedang terdorong untuk ber literasi. Literasi itu setara dengan baca dan tulis.
Seorang juru tulis mestinya percaya pada kata. Sang kuli tinta mestinya yakin pada tinta. Perbedaan kata dan tinta tidak perlu menyulut sentimen. Justru perbedaan itu harus dimaknai sebagai tanda awal percakapan, bukan koor!
Percakapan pun polemik diawali dari perbedaan pikiran dan cara pandang. Itu lumrah dalam demokrasi. Sejauh perbedaan itu dijelaskan secara rasional dan orisinal, tidak perlu ada larangan. Tulisan cukup dijawab dengan tulisan; Pikiran cukup disilangkan dengan pikiran lain. Kita tidak hidup dalam atmosfer kerajaan atau kesultanan. Jadi biarlah masyarakat bercakap-cakap untuk menaikkan derajat kewarganegaraan yang waras.
Lagi pula, waras mensyaratkan literasi. Umbar sentimen dan kemarahan hanya menyembunyikan tingkat literasi yang jongkok. Ada yang lemah tata bahasa dan loyo baca, tetapi hiper - sentimen dan gertak. Lucunya, orang itu akan tampil di publik atau menjadi politisi bahkan. Mungkin dan hanya mungkin, orang itu yakin bahwa masyarakat membutuhkan badut di pentas publik.
Sudahlah. Itu hanyalah fenomena politik kekinian. Ada beberapa sisi lain dari literasi dan politik. Sisi sebelahnya adalah tentang pegiat literasi yang menjadi motivator dan pengepul buku, bahkan tidak menulis (buku). Itu seperti lampu lalu lintas (:lampu merah) memberi tanda pelan, istirahat dan jalan. Sementara sang lampu bergantung tegak di tempatnya. Itu juga fenomena gerakan literasi.
Tujuan literasi adalah terciptanya pemahaman dan pengertian. Untuk itu banyak buku yang wajib dibaca. Banyak baca menimbulkan pemahaman dan pengertian. Banyak baca juga mendorong seseorang untuk menulis. Tulisan menjadi salah satu instrumen berbagi (share) pemahaman juga pengalaman kepada orang lain. Toh, kalau tidak menulis, setidaknya kelisanan kita dapat dipahami oleh orang lain.
Yang pasti, publik mau mendengarkan yang paham apa yang dibicarakannya dan publik pun mengerti maksudnya. Pembaca mau tahu jurnalis yang paham apa yang ditulisnya dan pembaca pun tidak mendeteksi opini di dalamnya. Intinya, apa yang tertulis dan apa yang terucap dapat diserap nalar dan akal sehat masyarakat.
Mengutip Harper Lee, penulis novel “To Kill A Mockingbird”, “orang pada umumnya melihat bahwa mereka mencari dan mendengar apa yang mereka dengarkan”. Selain itu, orang umumnya membaca atas apa yang ingin mereka pahami. Psikososialnya memang begitu. Nasib literasi kita bisa semakin terseok kalau bahasa dan tulisan yang sodorkan ke ruang publik, sudah tak menarik, tak terpahami pula.
Literasi juga berarsiran dengan politik. Diperlukan literasi yang baik untuk memahami dunia politik. Literasi dianggap ampuh untuk melerai pikiran dari jebakan sentimen dan irasionalitas politik.
Kita sedang memasuki tahun politik, politik kekuasaan. Dalam politik, kepastian seperti fatamorgana. Tak ada yang pasti sampai menjamin keselamatan rakyatnya. Fatsunnya ada dalam aksi komunikatif dan sebaran informasi politik. Gimik dan pikiran politik tertuju pada situ. Terkadang terselip hoax untuk memicu fanatisme politik.
Kalau ingin selamat, basmi sentimen! Kalau ingin jurdil, tinggikan literasi! Tidak hanya mengangguk, masyarakat harus paham dan pilah informasi. Tidak hanya mendengar, masyarakat juga harus membaca dan mengekspresikan pikiran secara rasional. Literasi politik dimulai dari aksi ini. Literasi-lah-yang bisa menyelamatkan politik.
Salam Literasi, Ayo Membaca dan Menulis
Komentar