Politisi Yang Takut Pada Pikirannya Sendiri
Oleh : Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)
Politisi yang pragmatis, biasanya takut pada pikiran. Ia takut pada aktivisme intelektual; ia takut pada kritisisme publik. Politisi yang takut pada pikiran itu sesungguhnya bukan politisi otentik. Ia jadi politisi bukan karena ide dan pikiran untuk kebaikan masyarakat. Ia hanya terperosok dalam politik demi kalkulasi ukuran angin untuk “mengembangkan” perutnya sendiri.
Mementingkan perut sendiri adalah ciri politisi pedagang. Tak mau rugi. Tak bisa berkorban (sacrifice). Sukanya, cari keuntungan sendiri. Ia suka “playing victim”. Seolah-olah, ia adalah korban (victim) dari sebuah langgam politik. Ia merengek untuk mendapat simpati, padahal itu bagian dari skenario pragmatisme politik itu.
Idealitas politik itu ada pada pikiran politisi itu sendiri. Ketika ia berpikir untuk kemuliaan dan kesejahteraan masyarakat, maka perkataan dan perbuatannya akan berorientasi pada kepentingan rakyat. Mari kita ingat ucapan politisi dan negarwan Inggris, Margaret Thatcher: “watch your thoughts, for they will become actions. Watch your actions, for they'll become habits. Watch your habits for they will forge your character. Watch your character, for it will make your destiny”. Siapa pun politisi, pasti bersepakat dengan wasiat politis the iron lady itu.
Kekuatan politisi itu berasal dari pikiran dan kata-katanya. Pikiran dan kata-katanya-lah yang menentukan nasib dan karier politiknya. Pikiran yang bernas, melahirkan ide yang brilian; pikiran yang baik, melahirkan kata yang meneguhkan. Semua itu menjadi dasar penilaian dan pilihan rakyat, juga konstituen.
Tentu saja, pilihan rakyat bukan sekadar pada pikiran dan kata yang “mengada-ada”: pikiran dan kata yang tak terdetak pada realitas publik. Pikiran dan kata-kata seorang politisi harus bisa dirasakan publik, bila perlu pernah terbukti ada (:pernah diperjuangkan). Itulah pikiran dan kata yang menyakinkan dan membawa harapan. Politics of hope itu dimulai dari pikiran dan kata yang berisi harapan bersama. Kata penyair Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
Demokrasi itu dekat dengan politisi yang berjuang untuk rakyat. Siapa yang menginvestasikan pikiran, perkataan dan perbuatannya untuk masyarakat, ia layak mendapat simpati masyarakat. Itu berarti, politisi itu tidak dilahirkan, tetapi berproses bersama masyarakat. Politisi tidak muncul begitu saja, tetapi senantiasa tampil untuk menyelesaikan setiap persoalan publik.
Oleh karena itu, kritik terhadap politisi adalah kritik terhadap apa yang tidak dilakukannya, sementera ia punya kuasa; kritik terhadap calon politisi adalah kritik terhadap apa yang tidak dilakukannya, padahal ia ingin punya kuasa. Baik politisi maupun calon politisi itu biasanya tak suka kritik. Mereka tak takut pada pikiran orang lain.
Sebenarnya, kritik itu sebuah skema lain dari konsultasi gratis (mengutip Arief Budiman). Tak banyak politisi mau memahami itu. Kritik lebih dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi karier politik. Padahal, kritik itu bagian dari politik berdemokrasi, dan menjadi hak warga negara untuk berpendapat secara publik.
Uniknya lagi, ada politisi yang justru takut pada pikirannya sendiri. Politisi seperti ini semacam takut pada banyangannya sendiri. Ia takut, karena sebenarnya ia justeru tidak berbuat apa-apa. Lantas ia mengkhawatirkan kiprahnya sebagai politisi. Ia membayangkan langkah politiknya berhenti, kekuasaanya hilang hingga dianggap sebagai “sampah” politik oleh masyarakat.
Politisi yang phobia seperti itu biasanya mulai mencari “kambing hitam” atau berlagak jadi korban (playing victim). Seolah-olah terzolimi oleh strategi dan laku politik politisi lain. Ada semacam buruk muka, cermin dibelah. Agak aneh memang, tetapi politisi seperti ini ada di sekitar kita.
Sebagai ilustrasi, misalnya: seorang istri gubernur ikut pencalonan DPRD Provinsi melalui Partai Amanah pada Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2024. Pada kebupaten dan Dapil (Daerah Pemilihan) yang sama, politisi Partai Merci membatalkan niatnya untuk ikut dalam pencalonan. Ia sudah menilai popularitas dan elektabilitas istri gubernur itu sangat tinggi.
Ilustrasi lain, politisi Partai Sejahtera mencoret seorang bakal Caleg DPRDr Provinsi se-Dapil dari Daftar Calon Tetap (DCT) di partai itu. Ia takut seraya merasa popularitas dan kemampuan finansialnya lebih kerdil. Tak mampu ia bersaing dalam politik Pileg 2024 nanti.
Cara berpikir seperti itu biasa disebut sebagai kegamangan “post hoc”. Lengkapnya, post hoc ergo proper hoc”. Apabila kita beranggapan bahwa suatu kejadian itu adalah sebab, dan kejadian lain adalah akibatnya semata-mata karena kedua hal itu terjadi bersama-sama (bdk. Nuril Huda, 1974). Karena berpikir keunggulan politisi lain, maka seorang politisi membuat keputusan politik “jalan lain ke Roma”. Politisi lain disalahkan, dijadikan sebab.
Seperti itulah ciri politisi yang takut pada pikiran sendiri. Padahal, politik itu soal strategi bertanding dan bersaing. Politisi ontentik akan melihat kehadiran dan posisi politisi lain sebagai peluang dan tantangan untuk bekerja lebih keras. Politik mesti butuh “lawan tanding”. Itulah demokrasi. Dengan begitu ada usaha “push the limit”, dan ada langkah strategis pemenangan. Selebihnya, biarlah rakyat menjadi juri yang adil dalam politik kontestasi.
Sayangnya, ada politisi kita yang cenderung pragmatis dan bermental kerupuk. Lebih suka mencari “kambing hitam” tinimbang menyiapkan diri untuk masuk arena kontestasi politik. Politisi ini mau enaknya saja. Maunya disuap terus, karena terlanjur berada dalam comfort zone.
Lantas, karena phobia pada pikirannya sendiri, secara sentimental dan prolonged infantile (:childish), politisi itu melabrak sisi lain yang berhubungan dengan politisi yang dianggap lawan. Misalnya, bergabung dengan calon lawan politik sang gubernur atau bermanuver sebagai bakal calon gubernur dari Partai Merci. Gestur ini tak sungguh-sungguh pula, hanya semacam political empty gesture. Sekadar untuk menarik perhatian, atau untuk memunculkan political bargaining.
Selebihnya, ada kondisi emosional yang terlampiaskan; ada bongkahan rasa “sakit hati” politik yang terlerai. Kondisi batin politisi seperti itu memang tampak samar, tetapi terbaca secara publik. Setidaknya, simptom itu muncul dalam langkah politis yang diambil.
Itulah realitas minor dalam politik kita. Ada, tapi tidak pada semua politisi. Biarlah kita, publik, mendeteksinya secara saksama. Bukan untuk apa-apa, bukan untuk siap-siapa. Tetapi itu untuk masa depan politik kita yang lebih beradab dan jujur. Publik butuh politisi yang berkarakter, bukan politisi yang sentimentil-temperametal. Nasib bangsa ini (juga) ditentukan oleh pikiran, perkataan dan kebiasaan politisi kita. Wassalam!
*********************************************
Komentar