Tumbal: Ritual Abadi Negeri Pesugihan

Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Iron Hambut

HARIANJARAKNEWS.ID - Kata tumbal dalam bahasa Jawa selalu menyimpan aroma getir. Ia adalah korban, persembahan, harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang lebih besar.

Dalam mitologi pesugihan, orang yang ingin kaya tanpa kerja keras akan membuat perjanjian dengan makhluk gaib. Uang memang datang, harta mengalir, tetapi syaratnya selalu sama: tumbal.

Dan tumbal itu jarang orang asing. Ia biasanya orang terdekat: anak, saudara, atau orang kepercayaan. Ironisnya, sang tumbal kerap masih sempat merasakan manisnya pesugihan sebelum akhirnya dikorbankan.

Kalau dipikir-pikir, politik kita tak ada bedanya. Bedanya hanya kostum: di dunia gaib, tumbal dipersembahkan kepada jin; di dunia politik, tumbal dipersembahkan kepada publik.

Setiap kali badai korupsi meledak, setiap kali bau busuk kekuasaan mulai tercium, segera dicari sosok untuk dijadikan persembahan. Biasanya bukan aktor utama, melainkan staf, pejabat menengah, atau kolega yang sudah habis masa gunanya. Mereka dijadikan tersangka, digiring ke kamera, lalu dipertontonkan ke rakyat: “Lihat, kami tegas, kami bersih!”

Padahal, seperti dalam cerita pesugihan, tumbal itu pernah ikut berpesta. Pernah menikmati remah-remah kekuasaan, pernah tersenyum di meja penuh hidangan. Bedanya, ketika pesta usai, dialah yang diseret ke luar ruang dansa.

Kita sudah sering menonton lakon ini. Kasus mafia pajak era Gayus, misalnya: Gayus dipajang sendirian, sementara publik tahu betul ia hanyalah pion kecil dari permainan jauh lebih besar. Begitu pula dalam skandal bansos, proyek infrastruktur, atau suap parlemen selalu ada “kambing hitam” untuk menutupi bayangan raksasa yang tak tersentuh.

Dan di daerah? Polanya sama saja. Di balik proyek jalan, jembatan, atau gedung pemerintah, selalu ada bisikan soal “jatah”. Ada PPK, kontraktor, dan konsultan yang pada akhirnya siap dijadikan tumbal jika badai datang. Tumbal siapa? Tentu saja orang yang lebih kuat, yang ikut menadah bagian.

Yang lebih getir, praktik “tawar-menawar tumbal” kerap terjadi jauh sebelum tersangka diumumkan. Seperti transaksi gelap di pasar malam, hanya saja ini pasar kekuasaan: siapa yang akan dikorbankan, siapa yang diselamatkan, siapa yang harus rela jadi wajah di balik skandal.

Namun jangan salah, masyarakat pun ikut ambil bagian dalam ritual ini. Kita sering kali puas dengan ditangkapnya satu-dua orang, seakan-akan masalah selesai. Kita cepat melupakan kasus besar, asal ada sedikit keuntungan yang mampir: jalan diperbaiki, bansos dibagi, atau sekadar drama politik yang bisa jadi bahan gosip. Dalam logika pesugihan, rakyat yang diam dan permisif sebenarnya juga bagian dari ritual tumbal itu. Kita ikut menikmati remah-remah, sambil membiarkan jagal terus bekerja.

Nasib tumbal selalu sama: pahit. Dalam dunia gaib, tumbal mati dan dipercaya menjadi budak jin di alam lain, menanggung hutang majikannya selamanya. Dalam politik, tumbal hidup dengan nama hancur, keluarga terpuruk, dan karier tamat. Mereka jadi simbol muram bahwa di negeri ini, kekuasaan selalu menuntut korban manusia.

Dan jangan lupa: penguasa pun suatu hari bisa jadi tumbal. Seperti pesugihan yang berakhir ketika majikan sendiri ikut ditelan, kekuasaan juga punya cara melumat pemiliknya. Hari ini ia berjaya dengan tumbalnya, besok ia sendiri yang jadi persembahan lengkap dengan rompi oranye, borgol di tangan, dan senyum pahit di depan kamera.

Ritual ini akan terus berulang selama rakyat masih rela menonton, ikut tertawa, lalu lupa. Dan setiap kali itu terjadi, tumbal baru sudah disiapkan.

Penulis:

Baca Juga