Begini Kesaksian Eks Narapidana Teroris Dan Eks Anggota Khilafatul Muslimin Asal Flores

Fahmi Warga Ende Terjebak JAD

Tak jauh berbeda dengan Yanto, Fahmi seorang putra Flores yang berasal dari kabupaten Ende juga berbagi cerita pada momen tersebut.

Sejak lahir hingga tamat SMA, ia berada di kota Ende, kota Pancasila yang terkenal dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi.

Pada awalnya, Fahmi tak berbeda dengan orang Flores lainnya, terbiasa hidup rukun dengan tingakat pluralisme dan toleransi yang cukup tinggi. Semuanya berubah ketika ia bersentuhan dan mendapatkan doktrin dari para rekruitmen JAD.

Semua bermula ketika Fahmi berhijrah ke kota Kupang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Muhammadiyah Kupang.

Dalam perjalanannya, saat semester dua, Dia berkenalan dengan seorang Ustadz asal Bima Nusa Tenggara Barat.

Karena fahmi ingin mendalami Ilmu agama, Ustad tersebut membantunya dalam memperbaiki [bacaan] Ayat Suci Alquran.

Untuk kepentingan tersebut Fahmi diminta  berhenti kualiah dari universitas Muhammadiyah. Dengan  iming-iming akan dikuliahkan ke kampus yang lebih baik di Makasar, kampus STIBA [ Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab], dia diajak masuk ke salah satu pondok pesantren [lebih tepatnya rumah persinggahan sementara sebelum di kirim ke Makasar] di kota kupang. Menurut Fahmi, pimpinan pondok pesantren tersebut juga orang flores.

"Pimpinan pondonya orang Manggarai dan banyak santri juga berasal dari Manggarai,"bebernya.

Aktifitas dalam pondok pesantren tersebut, semuanya normal-normal saja, tidak ada kajian atau pelajaran yang mengarah ke hal-hal yang radikal. Tetapi, dalam pondok tersebut terdapat salah seorang Udztad asal bima yang merekrut dirinya dan beberapa teman- teman lainnya. Ustadz tersebut lah yang secara sembunyi-sembunyi, saat Udztad lainnya sedang tidak berada di dalam pondok, melakukan pencucian otak terkait paham yang radikal.

"Keberadaan Udztad asal Bima dalam pondok pesantren tersebut sebenarnya oleh pemimpin pondok hanya untuk membantu memperbaiki bacaan [Al-Qur'an] para santri, tetapi dalam prakteknya dia mengajarkan hal yang lain" ungkap Fahmi.

Pada awalnya, semua hal yang diajarkan oleh Udztad tersebut dibantah Fahmi, karena bertentangan dengan Ajaran Islam yang dipaminya sejak kecil. Tetapi karena sering dilakukan pendekatan, kebaikan dan perhatian diberikan Udztad tersebut, juga sering dipertontonkan video- video tentang perjuangan Issis, ia pun berhasil di pengaruhi dan tertarik bergabung dengan JAD.

Dalam perjalanannya, Fahmi tidak jadi dikirim kuliah ke STIBA Makasar, karena menurut Ustadz dari Bima tersebut, pemahamannya belum cukup kuat.

"Pemahaman ilmu Agama mu belum kuat dasarnya, nanti kalau kamu belajar disana [STIBA Makasar] kamu akan terpengaruh. Kalau kamu ke sana, Kamu tidak akan dapat ilmu seperti yang saya ajarkan " ucap Fahmi menirukan perkataan Udztad tersebut.

karena tidak jadi disekolahkan ke STIBA, ia memutuskan kembali ke Ende. Di kampung halamannya, ia secara rutin mengakses website dari Issis dan organisasi teroris lainnya. Sikapnya pun berubah, cendrung tertutup, sehingga ia dikucilkan tetangga, dianggap menganut paham radikal.

Karena seringkali mendapatkan cibiran tetangga, Fahmi pun merasa tidak nyaman. Ia kemudian berpamitan dengan orang tuanya, lalu merantau cari kerja di Bogor Jawa Barat.

Selama berada di Bogor, Fahmi tidak lagi terlibat dalam aktivitas jaringan JAD, Ia hanya fokus dengan pekerjaannya. Menurutnya, sebelum berangkat ibunya meminta agar dirinya tidak lagi mengikuti aktifitas kelompok radikal.

Berselang beberapa bulan kemudian, ketika ibunya wafat, Fahmi kembali ke Ende lalu balik lagi ke Bogor.

Pasca kepergian Sang ibu, di Bogor Ia kembali akfit bermedia sosial. Fahmi pun terkoneksi dengan Jaringan JAD lainnya yang berada di Kalimantan. Orang- Orang ini disebutnya sebagai Ikwan.

Oleh para Ikwan, Fahmi diajak bergabung dengan jaringan yang berada di kalimantan Timur [Kaltim], tepatnya di kota Balik Papan.

Pada saat kawan-kawan anggota JAD lainnya aktif merekrut anggota baru dan melakukan berbagai perencanaan aksi Amaliah, Fahmi, tidak tertarik sama sekali dengan hal tersebut.

"yang ada dalam otak saya adalah bagaimana bekerja mengumpulkan uang sebanyak mungkin, lalu hijrah ke Suriah atau ke palestina. Tidak terlintas untuk melakukan aksi terorisme di Indonesia," ungkap Fahmi.

Saat beredar berita tentang pemboman, juga berita tentang penangkapan para pelaku teroris di berbagai tempat, muncul ketakutan dalam dirinya, tetapi disaat ingin berhenti dan keluar dari organisasi tersebut, terasa begitu sulit dan menemui banya polemik dalam pikiran, dia merasa telah terjebak dalam organisasi tersebut. Lingkaran pergaulan yang sangat eksklusif, menyebabkan fahmi tidak bisa berbagi cerita dengan orang lain untuk mendapatkan solusi.

Dalam kondisi bimbang tersebut, Fahmi hijrah ke Samarinda, bekerja dengan seorang pedagang kebab yang merupakan seorang pengungsi dari negara Surya.

Warga negara Surya tersebut ternyata warga Daulah [anggota ISIS] di negaranya. Kepada Fahmi, Ia menceritakan tentang perjuangan ISIS di negaranya, semangat Fahmi untuk hijrah ke Surya dan Palestina bangkit kembali dan semakin besar.

Saat di Samarinda ini juga, Fahmi dikenalkan dengan seorang Ikwan [Sesama anggota JAD] yang mau berhijrah ke Gunug Biru [Poso], untuk berjuang bersama Santoso.

Sebelum berangkat ke Poso, Ikwan tersebut ditampung di kontrakan Fahmi. Karena hal ini, Ia kemudian ditangkap oleh anggota Densus 88 pada tanggal 19 November 2019 lalu.

Meskipun divonis dengan hukuman penjara selama 5 tahun, sama halnya dengan Yanto, Fahmi bersyukur dengan penangkapan tersebut.

Kini di kampung halamannya, Fahmi menekuni profesi barunya sebagai penjahit dan terus berupaya untuk melakuakan penyadaran kepada anggota organisasi radikal lainnya agar kembali ke pangkuan ibu Pertiwi NKRI.

Selanjutnya 1 2 3
Penulis: Ihambut

Baca Juga